1. Oetari Tjokroaminoto (Siti Oetari) – (1921–1923)
Oetari Tjokroaminoto adalah istri pertama
Soekarno sekaligus putri sulung Hadji Oemar Said Tjokroaminoto,
pemimpin Sarekat Islam yang juga sebagai guru Soekarno.
Soekarno menikahi Oetari usianya belum
genap 20 tahun. Siti Oetari sendiri waktu itu berumur 16 tahun. Soekarno
menikahi Oetari pada tahun 1921 di Surabaya.
Soekarno kepada Utari Tjokroaminoto :
“Lak, tahukah engkau
bakal istriku kelak.? … orangnya tidak jauh dari sini, kau ingin tau?
boleh..Orangnya dekat sini kau tak usah beranjak, karena orangnya ada di
sebelahku”

Soekarno menikahi Oetari untuk meringankan beban keluarga Tjokro. Kala itu istri Tjokro baru saja meninggal.
Soekarno tidak mencintai Oetari sebagaimana seorang suami mencintai istrinya. Begitu pula Oetari.
Dunia pergerakan Soekarno dan dunia kanak-kanak Oetari terlalu berseberangan. Hubungan mereka pun lebih seperti kakak-adik.
Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno
meninggalkan Surabaya, pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan
di perguruan tinggi di THS (sekarang ITB).
Pernikahan Soekarno dan Oetari tidak
bertahan lama. Soekarno kemudian menceraikan Oetari secara baik-baik tak
lama setelah kuliah di Bandung.
2. Inggit Garnasih – (1923–1943)
Inggit Garnasih (lahir di Desa Kamasan,
Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 17 Februari 1888 –
meninggal di Bandung, Jawa Barat, 13 April 1984 pada umur 96 tahun
adalah istri kedua Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia.

Mereka menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.
Pernikahan mereka dikukuhkan dengan
Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15
sen, dan berbahasa Sunda.
Soekarno berusia 20 tahun dan Inggit berusia 33 tahun kala itu. Pernikahan Inggit dengan Haji Sanusi pun tidak bahagia.
Pada sosok Inggit Soekarno menemukan pelabuhan cintanya. Inggit begitu telaten melayani dan mendengarkan Soekarno.
Soekarno kepada Inggit Garnasih :
“Aku kembali ke Bandung.., dan kepada tjintaku yang sesungguhnya.”

Tahun 1943, Soekarno menceraikan Inggit yang tak mau dimadu.
Sayang, setelah 20 tahun berumah tangga,
bahkan dengan setia nunut Bung Karno hingga ke Ende dan Bengkulu, Inggit
harus rela berpisah.
Karena si Bung terpikat pada Fatmawati, yang pernah ikut mondok dalam rumah tangga mereka saat di Bengkulu.
Sekalipun bercerai tahun 1942, Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno meninggal.
Kisah cinta Inggit-Soekarno ditulis
menjadi sebuah roman yang disusun Ramadhan KH yang dicetak ulang
beberapa kali sampai sekarang.
3. Fatmawati (Fatimah) – (1943–1956)
Fatmawati yang bernama asli Fatimah lahir
di Bengkulu, 5 Februari 1923. Dalam pembuangan di Bengkulu, Soekarno
bertemu Fatmawati. Gadis muda ini adalah putri tokoh Muhammadiyah di
Bengkulu.
Usia Soekarno dan Fatmawati terpaut 22
tahun lebih muda. Hubungan dengan Fatmawati membuat pernikahan Soekarno
dengan Inggit Garnasih berakhir. Inggit menolak dipoligami dan memilih
pulang ke Bandung.
Soekarno kepada Fatmawati :
“Engkau menjadi terang dimataku. Kau yang akan memungkinkan aku melanjutkan perdjuanganku yang maha dahsyat.”
Tanggal 1 Juni 1943, Soekarno dan
Fatmawati menikah. Soekarno berusia 42 tahun dan Fatma 20 tahun. Setelah
Indonesia merdeka, Fatma menjadi ibu negara yang pertama. Dia juga yang
menjahit bendera pusaka merah putih.

Pada tahun 80-an lalu, kehendak Fatmawati menemui Inggit di Jalan Ciateul Nomor 8, Bandung, seperti tertulis dalam buku “Fatmawati Sukarno: The First Lady” karya Arifin Suryo Nugroho, terwujud berkat bujuk rayu mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Ali menemui Inggit pada 7 Februari 1980
untuk menjajaki kemungkinan menerima kehadiran Fatmawati, yang telah 38
tahun tak lagi berkomunikasi. Di hadapan Inggit yang telah sepuh itu,
Fatmawati Sukarno bersimpuh.
“Indung mah lautan hampura
(seorang ibu adalah lautan maaf),” kata Fatmawati. Inggit yang telah
sepuh itu membalas sambil memeluk dan mengelus kepala Fatmawati.
“Hanya, ke depan, jangan mencubit orang lain kalau tak ingin dicubit, karena dicubit itu rasanya sakit,” jelas Inggit, istri yang cuma bisa memberi tanpa mau meminta kepada suaminya.
Dengan terbata-bata, Fatmawati meminta maaf karena telah menjalin tali kasih dan menikah dengan Sukarno.
Bagi Fatmawati, kehendaknya menemui mantan ibu angkatnya Inggit, seolah menjadi penyuci diri.
Pada 14 Mei 1980 Fatmawati meninggal
dunia karena serangan jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari
Mekah, lalu dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.
Dari Fatmawati, Soekarno mendapatkan lima
orang anak. Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati
Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
4. Hartini – (1952–1970)
Hartini adalah wanita setia yang sempat
mengisi hidup Soekarno. Hartini lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 20
September 1924. Ayahnya Osan adalah pegawai Departemen Kehutanan yang
rutin berpindah kota. Hartini menamatkan SD di Malang dan beliau
diangkat anak oleh keluarga Oesman di Bandung.
Hartini melanjutkan pendidikan di Nijversheid School
(Sekolah Kepandaian Putri) Bandung. Hartini menamatkan SMP dan SMU di
Bandung. Hartini remaja dikenal cantik, dan Hartini muda menikahi
Suwondo dan menetap di Salatiga. Ia menjadi janda pada usia 28 tahun
dengan lima orang anak.
Saat dipinang oleh sang proklamator pada 1953, Hartini berumur 29 tahun dan berstatus janda lima anak.
Soekarno kepada Hartini :
“Tien, I can’t work
without you. Meski kamu istri kedua (setelah Fatmawati-red), kamu tetap
istri saya yang sah. Biarpun kamu tidak tinggal di Istana Negara, kamu
tetap mejadi ratu. Kamu akan menjadi ratu yang tidak bermahkota di
Istana Bogor.” (saat meminta Hartini menjadi istrinya)

Saat itu Soekarno, dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada.
Setahun kemudian, Hartini dan Soekarno bertemu saat peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan.
Melalui seorang teman, Soekarno mengirimkan sepucuk surat kepada Hartini dengan nama samaran Srihana.
Dua hari setelah Guruh Soekarno Putra lahir, tanggal 15 Januari 1953, Soekarno meminta izin Fatmawati untuk menikahi Hartini.
Kepada Tempo edisi 22 September
1999 lalu, Hartini menepis tudingan publik bahwa dirinya telah merebut
Bung Karno dari Fatmawati. Untuk bersedia menerima pinangan Bung Karno
yang bertubi-tubi, dia harus membayarnya dengan amat mahal. Sebab,
hampir semua media dan aktivis perempuan kala itu menyudutkan dirinya,
dan lebih membela Fatmawati.
“Benar, sudah ada Ibu Fatmawati, sang first lady, ketika saya menikah dengan Bung Karno. Tapi, setelah saya, juga ada Dewi,” ujar Hartini.
Dan, kalau dirinya dikatakan merebut Bung
Karno dari Ibu Fat, ia melanjutkan, bukankah Ibu Fat juga merebut Bung
Karno dari Ibu Inggit, dan Ibu Inggit merebutnya dari Ibu Tari (Oetari)?
Lalu, setelah Dewi, bukankah masih ada
lagi Haryatie, Yurike, dan belum pacar-pacar yang lain? Jadi semuanya
sama. Yang membedakan, hanya ada satu first lady.
“Saya tidak merebut Bung Karno. Saya menjalani takdir yang digariskan hidup,” Hartini menegaskan.
Dari Soekarno, Hartini melahirkan dua anak, yakni Taufan Soekarnoputra dan Bayu Soekarnoputra.
Hartini tetap menjadi istri saat masa
kekuasaannya Soekarno sudah memasuki usia senja. Hartini juga tetap
mempertahankan status pernikahan hingga ajal menjemput Soekarno.
Di pangkuan Hartinilah, Putra Sang Fajar
menghembuskan napas terakhirnya di RS Gatot Subroto pada 21 Juni 1970.
Hartini meninggal di Jakarta, 12 Maret 2002 pada umur 77 tahun.
5. Kartini Manoppo – (1959-1968)

“Aku mencintai kamu, aku ingin kau membalas cintaku…. sekarang juga saya minta kepastian darimu ya atau tidak”

Sejak saat itu, Kartini tak pernah absen tiap kali Bung Karno pergi ke luar negeri.
Kartini merupakan wanita asal Bolaang Mongondow, Sulawesi.
Dia terlahir dari keluarga terhormat, sehingga Kartini menutup rapat-rapat pernikahannya dengan Bung Karno.
Sejarah mencatat, Kartini merupakan istri
kedelapan Sang Putera Fajar. Menikah dengan Kartini Manoppo, Bung Karno
dikarunia anak Totok Suryawan Sukarno pada 1967.
6. Ratna Sari Dewi (Naoko Nemoto) – (1962–1970)

“Kalau aku mati,
kuburlah aku di bawah pohon yang rindang. Aku mempunyai istri yang aku
cintai dengan segenap jiwaku. Namanya Ratna Sari Dewi. Kalau ia
meninggal kuburlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama
aku.”

Sebelum menjadi istri Soekarno, Dewi adalah seorang pelajar sekaligus entertainer.
Gosip beredar bahwa dia adalah seorang geisha. Namun rumor itu berkali-kali dibantahnya.
Menjelang redupnya kekuasaan Soekarno,
Dewi meninggalkan Indonesia. Setelah lebih sepuluh tahun bermukim di
Paris, sejak 1983 Dewi kembali menetap di Jakarta.
Dalam ‘A Life in the Day of Madame Dewi’
diceritakan, setelah bercerai dengan Soekarno, ia kemudian pindah ke
berbagai negara di Eropa termasuk Swiss, Perancis, dan Amerika Serikat.
Pada 2008, ia menetap di Shibuya, Tokyo, Jepang.

Ratna Sari Dewi dan anaknya yang masih bayi dari pernikahannya dengan Sukarno, Kartika Sari Dewi Soekarno.
Pada bulan Januari 1992, Dewi menjadi
terlibat di dalam banyak perkelahian dipublikasikan di sebuah pesta di
Aspen, Colorado, Amerika Serikat dengan sesama tokoh masyarakat
internasional dan ahli waris Minnie Osmeña, putri mantan presiden
Filipina.

Di dalam buku Madame Syuga yang
diterbitkan di negara asalnya tersebut, pada isinya menampilkan sebagian
foto-foto dirinya yang sedang berpose artistik setengah bugil, dan
memperlihatkan tato-tato pada tubuhnya.
Bukunya untuk sementara tidak
didistribusikan di Indonesia dan segera dilarang karena bisa jadi akan
membuat banyak orang Indonesia merasa tersinggung dengan apa yang
dianggap mencemarkan nama baik Sukarno dan warisannya.
Dari Soekarno yang ketika itu berumur 57 tahun, Dewi mempunyai satu anak yaitu Kartika Sari Dewi Soekarno. (video Ratna Sari Dewi mengunjungi makam Sukarno).
7. Haryati – (1963 – 1966)

Melihat kemolekan Haryati, Soekarno bak Arjuna yang tak henti mengirim rayuan kepada wanita berusia 23 tahun itu.
Bahkan, status Haryati sebagai kekasih orang lain, tak membuat Soekarno mundur untuk meluapkan rasa cintanya.
Hati Haryati pun akhirnya jebol dan tak kuasa menolak pinangan sang kepala negara.
Soekarno dan Haryati akhirnya menikah pada 21 Mei 1963.
Soekarno kepada Haryati:
“Yatie adiku wong
aju, iki lho alrodji sing berkarat kae. Kuliknakna nganggo, mengko
sawise sasasi rak weruh endi sing kok pilih: sing ireng, apa sing dek
mau kae, apa sing karo karone?
Dus; mengko sesasi
engkas matura aku. (dadi senadjan karo karone kok senengi, aku ja seneng
wae). Masa ora aku seneng! Lha wong sing mundhut wanodja palenging
atiku kok! Adja maneh sakados alrodji, lha mbok apa apa ja bakal tak
wenehke.”
Namun selang tiga tahun, Haryati
diceraikan tanpa anak. Soekarno beralasan sudah tidak cocok. Saat itu,
Soekarno juga sedang dekat dengan Ratna Sari Dewi.
8. Yurike Sanger – (1964 – 1968)

“Yury,
I came to you today,
but were out (to Wisma School)
I came only to say “I love you”
I came to you today,
but were out (to Wisma School)
I came only to say “I love you”
Yours,
Soekarno.”
(Yurike Sanger, saat itu masih berstatus pelajar SMA )
Pertemuan itu rupanya langsung menarik
perhatian Sang Putera Fajar. Perhatian ekstra diberikan sang presiden
kepada gadis bau kencur itu, mulai dari diajak bicara, duduk
berdampingan sampai diantar pulang ke rumah.

Akhirnya, Bung Karno menemui orangtua
Yurike. Pada 6 Agustus 1964, dua anak manusia yang tengah dimabuk cinta
itu menikah secara islam di rumah Yurike.
Berjalannya waktu, ternyata pernikahan ketujuh Sang Proklamator berjalan singkat. Kondisi Bung Karno pada 1967 yang secara de facto di makzulkan sebagai presiden, berdampak pada kehidupan pribadi.
Didasari rasa cinta yang luar biasa, Bung
Karno yang menjadi tahanan rumah di Wisma Yoso (sekarang, Musium Satria
Mandala – pen.) menyarankan agar Yurike meminta cerai. Akhirnya
perceraian itu terjadi, meski keduanya masih saling cinta. ( video
wawancara dengan Yurike |1| |2| )
9. Heldy Djafar – (1966 – 1969)

“Dear dik Heldy,
I am sending you some dollars,
Miss Dior, Diorissimo, Diorama
of course also my love,
I am sending you some dollars,
Miss Dior, Diorissimo, Diorama
of course also my love,
Mas.”
(Saat itu kekuasaan Soekarno mulai pudar)
Komunikasi tak berjalan lancar setelah
Soekarno menjadi tahanan di Wisma Yaso (sekarang, Musium Satria Mandala –
pen.), di Jalan Gatot Subroto.
Heldy sempat mengucap ingin berpisah, tetapi Soekarno bertahan. Soekarno hanya ingin dipisahkan oleh maut.
Akhirnya, pada 19 Juni 1968 Heldy 21 tahun menikah lagi dengan Gusti Suriansyah Noor.
Kala itu Heldy yang sedang hamil tua mendapat kabar Soekarno wafat. Soekarno tutup usia 21 Juni 1970, dalam usia 69 tahun.
SUMBER: https://indocropcircles.wordpress.com/2013/11/05/9-istri-presiden-sukarno/
0 komentar:
Posting Komentar