Pagi itu, kau berdiri tepat angka 2 dariku. Terhalang 6 kepala yang membentuk sudut 90 derajat. Kau mematung. Menyimak pembicaraan pria yang berbicara lantang di hadapan semua manusia berseragam itu. Sedangkan aku? Tidak. Aku tidak berani menatapmu. Aku pun sama --maksudku, berpura-pura-- menyimaknya juga.
Meskipun menyenangkan memiliki sedikit jarak, nyatanya aku lebih menyukai jika aku tidak difasilitasi melihatmu dengan mudah. Terlebih, di tempat ramai. Kenapa? Karena jika dengan sembrono aku melirikmu, sama saja dengan cuma-cuma aku menyiarkan kepada siapapun yang menangkap tingkahku jika kau yang ku bicarakan selama ini, adalah kau.
Tentu, aku tidak se-sinting itu.
Ribuan detik aku tidak berani menoleh, bahkan melirik ke arahmu. Jadilah, leherku pegal. Tapi, tetap saja aku tidak mampu menahan rasa senang yang kurasakan. Sesekali, --atau mungkin berkali-kali-- aku tertawa sendiri.
"Kau kenapa?" Tanya kawanku.
"Tidak, hanya geli saja." Dalihku.
Sampai akhirnya, kau mundur tiga langkah ke belakang. Bertukar posisi dengan temanmu. "Panas" katamu. Ah, aku lega. Terimakasih matahari. Aku bebas bertolah-toleh ke arah manapun. Melirikmu dengan dugaan aman, tidak seperti sebelumnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mesti pas LDK Wingi
BalasHapusHoho, salah.
BalasHapusAh-,-
HapusEcie
BalasHapus