Selasa, 15 Desember 2015

Boleh jadi....

Bukankah 1 meter sudah cukup jauh jika kau tidak memerhatikanku? Lalu, bagaimana mungkin kau merasa aku mengajakmu bicara jika sebenarnya tidak? Apalagi, dengan jarak yang jauh, sangat jauh dari 1meter.
Itu berarti.............
Jangan kau jawab. Biarkan aku menyimpulkannya sendiri.
Kau sedang kebetulan melirik ke arahku. Atau boleh jadi, isyaratku kepada temanku yang berlebihan hingga menarik perhatianmu?
Sepertinya dugaan pertama yang lebih melegakan.
Bukankah semua orang yang sedang jatuh cinta, memang selalu menduga-duga? Boleh jadi ini, boleh jadi itu.

Senin, 14 Desember 2015

Pagi itu.

Pagi itu, kau berdiri tepat angka 2 dariku. Terhalang  6 kepala yang membentuk sudut 90 derajat. Kau mematung. Menyimak pembicaraan pria yang berbicara lantang di hadapan semua manusia berseragam itu. Sedangkan aku? Tidak. Aku tidak berani menatapmu. Aku pun sama --maksudku, berpura-pura-- menyimaknya juga.
Meskipun menyenangkan memiliki sedikit jarak, nyatanya aku lebih menyukai jika aku tidak difasilitasi melihatmu dengan mudah. Terlebih, di tempat ramai. Kenapa? Karena jika dengan sembrono aku melirikmu, sama saja dengan cuma-cuma aku menyiarkan kepada siapapun yang menangkap tingkahku jika kau yang ku bicarakan selama ini, adalah kau.
Tentu, aku tidak se-sinting itu.
Ribuan detik aku tidak berani menoleh, bahkan melirik ke arahmu. Jadilah, leherku pegal. Tapi, tetap saja aku tidak mampu menahan rasa senang yang kurasakan. Sesekali, --atau mungkin berkali-kali-- aku tertawa sendiri.
"Kau kenapa?" Tanya kawanku.
"Tidak, hanya geli saja." Dalihku.
Sampai akhirnya, kau mundur tiga langkah ke belakang. Bertukar posisi dengan temanmu. "Panas" katamu. Ah, aku lega. Terimakasih matahari. Aku bebas bertolah-toleh ke arah manapun. Melirikmu dengan dugaan aman, tidak seperti sebelumnya.

Senin, 07 Desember 2015

Yo.

Untuk kali pertama, aku tidak ingin masa-masa melelahkan seperti perjuangan akhir semester segera berakhir. Kau tahu sendiri apa alasannya. Sepekan terakhir, aku mudah sekali mencuri pandang. Sebenarnya tak hanya itu. Ada beberapa hal lain yang tidak aku ceritakan. Atau mungkin, belum aku ceritakan.
Kau tahu? Dalam suasana ramai, ketika semua orang sedang berkumpul dan belajar, duduk di lantai dekat tangga atau di kursi depan kelas, aku selalu mudah menemukanmu. Tapi, yang aku bilang mencuri pandang, tidak selalu aku sendiri yang lakukan. Karena, meskipun mudah dan aku tahu itu menyenangkan, tetap saja aku takut tertangkap sedang melirikmu. Jadi, temanku lah yang melirikmu untukku. Tidak apa kan?
Terlalu serakah mencuri pandang, sebenarnya membuatku takut. Bukan hanya takut membuatmu tahu, tapi aku lebih takut kepada Sang Pencipta yang sudah jelas-jelas melarang hambanya melakukan hal seperti itu kepada seseorang yang bukan mahramnya. Ini aku serius. Meskipun sepele, tapi tetap saja itu tidak boleh. Dan yang lebih aku takutkan lagi, aku tahu jika hal itu dilarang, tapi aku tetap saja melakukannya.

Senin, 30 November 2015

Hehehe...

Tadinya aku pikir, satu pekan ini aku akan kesulitan melirik senyummu. Nyatanya, sebaliknya. Bahkan, aku hanya perlu menoleh. Menyenangkan bukan? Meskipun tidak setiap saat. Tentu saja. Karena aku dan kau berjarak dinding dengan dasar semen dan pasir. Belum lagi satu pohon cemara yang turut serta.
Andai saja, dinding itu berdasar kaca. Pasti lebih mengasikkan. Melihatmu berpikir atau boleh jadi
mencuri jawaban.
Setidaknya, satu pekan ini pasti akan menyenangkan meskipun melelahkan.

Sabtu, 28 November 2015

Anehnya.

Anehnya, meski kau seperti api unggun yang hangat, kau justru menyejukan. Ketika mendengarmu bertanya misalnya. Meski kepada temanku. Bukan kepadaku. Namun, tetap saja menyenangkan mendengar suaramu.
Aneh, bukan? Rasanya, di dalam pikiranku, aku punya ratusan,
bahkan ribuan hal yang membuatku bahagia hanya dengan memikirkanmu.

Kamis, 26 November 2015

Mengagumimu....

Jika semudah melangkah di atas tanah.
Aku tak perlu berlama-lama mengumpulkan
keberanianku untuk menyapamu.
Ternyata, jatuh cinta diam - diam bukan perkara yang mudah. Aku harus menyembunyikan senangku ketika bertemu denganmu.
Tak hanya itu, Aku juga harus berpura-pura tidak melihatmu, agar kau tidak tahu binar mataku saat melihatmu.
Namun..
Ini menyenangkan. Dan sungguh,
aku menikmatinya.

Rabu, 25 November 2015

Here is! I How to Make Your Parents Proud of You

One of the best feelings of accomplishment is knowing you've made your parents proud and that the thought of you raises their heads in happiness. However, it's not very easy to achieve this awesome feeling. In fact, sometimes it feels that everything you do lets them down, or that to make them proud of you is something unachievable, impossible. Before you give up though, try reading and following the steps in this article.

Method 1 of 2: Being an Admirable Person

  1. Make Your Parents Proud of You Step 1
    1
    Always try your level best. How are you going to make your parents proud if you don't put in 100% effort? Try your hardest at anything and everything - sports,schoolworkjobsprojects...show them that you're not slacking off. Have an enthusiastic attitude towards everything - it'll get you a lot further than you may think.
  2. Make Your Parents Proud of You Step 2
    2
    Take their ideas into account. For example, say you want to cut your hair and dye it red while they want you to just trim it. You don't have to do exactly what they say, but at least try to take their ideas into account. You could keep your hair the same length, or trim it a little more than they would like. Apply this attitude for everything. Don't let them take over you, but make sure you at least 'show' them that you are considering their suggestions.
  3. Make Your Parents Proud of You Step 3
    3
    Do the right thing. Your parents probably won't be too proud of you if you're locked up in jail for several different crimes. In contrast, they may be upset or angry with you. You don't have to turn into a total goody two shoes, but make sure you know the limits and don't push them. Keep within the rules - whether at schoolwork, or the law. Before you do something, always think whether it's the right thing or not, and if your parents would be proud of you.
  4. Make Your Parents Proud of You Step 4
    4
    Be a good person. You may stick to the rules, try your best, and take their ideas into account, but after all that you still may be an unpleasant, selfish person. That won't make your folks proud now, will it? So try to be a good person at heart. Be as generous,nice, and thoughtful as you can. You don't have to be anywhere near becoming a pushover or a goody two shoes, no, to be a merely good person at heart will suffice.
  5. Make Your Parents Proud of You Step 5
    5
    Be responsible. Don't be so immature that your parents constantly have to keep an eye on you. It's great to have fun, but know when to stop and be responsible. It ties in with doing the right thing - again, always stay within the boundaries. Be trustworthy and reliable. If you're going to baby-sit, baby-sit. If you're going to do your homework, do your homework. If you're going to wash the car, wash the car. You can always party, but make sure you know when you've stepped well over the line!


  1. 42802 6
    1
    Look down at the ground when they scold you. This will show your parents that you're actually ashamed of your behavior and that you're really thinking it over, determined not to do it again. If you smirk at them, give them a defiant stare, or look bored or annoyed, then they'll be even more angry at you. Though nobody likes being scolded, you should show them that you understand what you did wrong. If you're able to do that, you'll make them proud, even if they're still angry. It may be hard to believe this, but your parents don't like to scold you all the time either.
  2. 42802 7
    2
    Don't talk back. When your parents are angry about something you did and are in the middle of telling you why they're disappointed, it's not the time to talk back, interrupt, or generally be disrespectful. Sure, you may want to tell them your side of the story, but you don't want to interrupt them when they're trying to tell you something. It's for your own good. Remember, there's a time and a place for everything.
  3. 42802 8
    3
    Tell them your side of the story when they calm down. If you feel they don't understand the situation, give them some time to cool off before you go and tell them what you really think. If they ask you to tell them your side on the spot, that's fine, however if they look frustrated or need some space, give it to them instead of continuing a conversation they don't want to have. They'll be proud of you for recognizing that they want to be left alone and will be more receptive to the fact that you realized they need some private time.
    • When they look ready, you can calmly and politely tell them your side of the story.
  4. 42802 9
    4
    Admit your mistakes. Nobody's perfect, and it's much better to admit you've made a mistake than to be in denial or be mean and petty about it. If you say you're sorry, look your parents in the eyes and promise not to do it again and really mean it. That will definitely make your parents proud. They don't expect you to be perfect, but what they do expect is for you to accept responsibility when you're in the wrong. This is a big part of being a mature individual with self-knowledge.

SUMBER: http://www.wikihow.com/Make-Your-Parents-Proud-of-You

Jumat, 20 November 2015

Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende

Ir. Soekarno atau yang juga kerap disapa Bung Karno merupakan Presiden pertama Republik Indonesia. Ia juga  yang pertama kali mencetuskan konsep Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Ideologi Pancasila tidak lahir begitu saja. Pancasila lahir saat Soekarno sedang duduk di sekitar pohon sukun yang menghadap ke laut Flores. Pohon sukun itu berbatang lima. Inilah yang menjadi ilham bagi lahirnya lima butir Pancasila. Berjalannya waktu, pohon sukun tersebut kini sudah mati. Karena Pemerintah Daerah Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur menyadari bahwa keberadaan pohon sukun tersebut sarat akan sejarah, ditanamlah bibit pohon sukun baru yang letaknya persis sama dengan pohon sukun berbatang lima terdahulu, untuk mengenang keberadaan Soekarno di Ende.

Soekarno saat itu berada di Ende, karena ia diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ia menjadi tahanan politik dari tahun 1934 hingga 1938. Di sana ia tidak punya rumah, sehingga tinggal di rumah milik Abdullah Ambuwaru. Lokasinya tak jauh dari keberadaan pohon sukun tersebut, tepatnya di jalan Perwira, kota Ende. Rumah ini menghadap timur ke pelabuhan Ende. Luas bangunannya 9 x 18 meter persegi dan memiliki tiga kamar yang berderet di sisi kanannya. Di belakang rumah ini juga ada sebuah ruangan yang sering digunakan Bung Karno untuk shalat dan bermeditasi serta sumur tua. Rumah yang dibangun pada tahun 1927 ini pun sejak tahun 1954 telah resmi menjadi museum. Karena merupakan rumah pengasingan bung Karno yang sarat sejarah, rumah ini pun banyak dikunjungi turis lokal maupun mancanegara.

Memasuki rumah pengasingan Bung Karno,Anda diwajibkan mengisi buku tamu dan membayar tiket sebesar Rp2.500. Melewati pintu berdaun ganda, anda akan masuk ke dalam ruang tamu. Di ruang tamunya terdapat kursi rotan dan satu meja bundar yang biasa Bung Karno gunakan untuk menjamu tamunya. Di dinding rumah ini terpajang beberapa foto Bung Karno bersama keluarga dan teman-temannya serta tergantung lukisan sosok Soekarno karya Affandi. Ada pula lukisan Pura Bali yang dibuat Bung Karno tahun 1935. Lukisan tangan Bung Karno ini adalah bentuk rasa hormat Bung Karno kepada ibunya yang berasal dari Bali. Dalam lukisan pura dengan atap miring itu ada empat orang sedang berdoa terdiri dari pemeluk Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Penggambaran ini menyiratkan masyarakat Indonesia berbeda agama, namun tetap hidup rukun. Di rumah ini juga terdapat lemari kaca. Didalamnya ada dua tongkat kayu yang biasa dibawa Bung Karno. Tongkat tersebut digunakan Bung Karno apabila bertemu dengan Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu juga tersimpan naskah tonil karya Bung Karno. Selama di Ende, Bung Karno menghasilkan 13 naskah tonil. Naskah-naskah tonil tersebut digunakan Bung Karno untuk mengobarkan semangat rakyat untuk merebut kemerdekaan.

Selama di Ende., Bung Karno dipantau terus pergerakannya olehBelanda, tiap jam 7 pagi sebelum melakukan kegiatan ia harus melapor ke markas Belanda. Ia juga tidak boleh pergi dalam radius 8 kilometer. Selain melukis, dan membuat naskah-naskah tonil, Bung Karno mengisi waktunya dengan merenung dibawah pohon sukun. Pohon sukun ini terletak di lapangan yang kini telah menjadi taman bernama taman Pancasila. Tempat ini menghadap Teluk Sawu dengan lautnya yang tenang dan dikelilingi bukit-bukit hijau. Dari perenungannya, selain mendapat gagasan tentang Pancasila, Bung Karno menyadari bahwa semangat untuk meraih kemerdekaan tidak bisa berhenti dan tak bisa lepas dari kehendak semesta.

SUMBER: http://voi.rri.co.id/voi/post/berita/187724/pesona_indonesia/rumah_pengasingan_bung_karno_di_ende.html

Kamis, 19 November 2015

RUMAH PENGASINGAN SOEKARNO DI ENDE

RUMAH PENGASINGAN BUNG KARNO DI ENDE
Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende. Sepi.

Sebuah rumah berada di sisi selatan Jalan Perwira, Ende. Bersih dengan bercat putih, pintu dan jendela kayu berwarna kuning gading serta jendela berpayung warna putih bergaris hijau. Atap berupa seng berwarna putih berkilau pantulan sinar mentari terik siang itu, 15/03/2014. Jalan setapak beralas kayu membelah pekarangan rumput hijau yang terawat rapi, menghubungkan pintu pagar dengan pintu rumah. Sebuah pohon besar terletak di samping yang tampak rimbun memayungi rumah.

Tak disangka, rumah mungil yang damai ini bukanlah rumah biasa. Narasi sejarah bangsa Indonesia menempatkan rumah ini sebagai tempat penting bagi perjalanan hidup Ir. Soekarno, proklamator RI. Selama empat tahun, 1934-1938 Soekarno diasingkan oleh pemerintah Belanda ke Ende, Flores. Rumah ini menjadi saksi sejarah sebagai kediaman Soekarno beserta istrinya, Inggit Garnarsih dan mertuanya, Ibu Amsih, selama diasingkan di Ende.

Kami hadir di sana tatkala  rumah yang telah ditetapkan sebagai situs sejarah sedang tutup. Hari itu memang hari Sabtu sehingga rumah yang berada di tengah pemukiman penduduk ini tidak buka. Hanya Senin – Jumat, situs ini buka. Kecuali jika ada permintaan khusus kepada penjaganya.

Tapi tak mengapalah, saya pun paham bahwa kehadiran ini hanyalah pengulangan saja dari kunjungan saya ke rumah ini setahun lalu. Waktu itu, saya harus menunggu penjaganya, Safruddin Pua Ita, dari siang hingga selepas maghrib agar bisa masuk ke dalam rumah. Safruddin adalah cucu dari Abu Bakar Damu pemilik rumah pengasingan ini. Dari pandangan sekilas, tak ada yang berubah signifikan dari rumah ini sejak setahun lalu.

Koleksi buku-buku tentang Soekarno dan tonil-tonil karangannya. 
Safruddin Pua Ita, penjaga situs sejarah ini.

Saya masih ingat, yang mengesankan di dalam rumah tersebut adalah koleksi tonil-tonil yang dibuat oleh Soekarno. Tonil ini adalah naskah yang akan dipentaskan dalam teater pertunjukan. Total ada 13 naskah tonil gubahan Soekarno. Sebagian besar tonil ini berisi tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Untuk mementaskan karya tonil gubahannya. Soekarno membentuk kelompok tonil “Kelimoetoe” yang melibatkan masyarakat Ende.

Ada satu naskah tonil yang cukup membuat saya kagum. “Tahun 1945” begitu judulnya. Soekarno meramalkan bahwa Indonesia akan terbebas dari penjajahan pada tahun 1945. Bukan dari Belanda, tapi dari suatu bangsa di Asia. Dan, ramalan itu ternyata terbukti. Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Hal lain yang membuat rumah tiga kamar ini menarik adalah koleksi lukisan cat minyak karya Bung Karno. Lukisan dari tangan langsung Bung Karno menggambarkan empat perempuan Bali sedang bersembahyang di pura. Selain itu, tongkat kayu berkepala monyet di ujungnya yang berada di lemari kaca juga begitu menarik bagi yang tahu maknanya. Tongkat ini menjadi simbol satire Bung Karno saat berbicara dengan penguasa kolonial Belanda.

Kami tidak berlama-lama di Rumah Pengasingan Bung Karno ini. Kami pun lekas bergerak ke situs lain sejarah Bung Karno di Ende, yakni taman perenungan Bung Karno. Kedua situs ini telah menjadi satu paket bagi wisatawan yang ingin mengenang sejarah pengasingan Soekarno di Ende. Taman Perenungan Bung Karno pun tak jauh, hanya berjarak 200 meter dari Rumah Bung Karno.



Catatan:
- tulisan ini merupakan rangkaian kisah perjalanan saya mengikuti Adira Faces Of Indonesia #UbekNegeri Copa de Flores yang diselenggarakan Adira Finance dan Bank Danamon pada tanggal 14-19 Maret 2014
- sebagian foto (foto 2,3,4,5,7) merupakan foto perjalanan saya sebelumnya di Ende pada 28 Maret 2013.



Sebuah ruangan baca yang biasa digunakan Soekarno untuk membaca.
Tampak foto Soekarno dengan Inggrid Gunarsih, istrinya.

Sumur di Rumah Pengasingan Bung Karno.
Bagi yang fanatik terhadap Soekarno, airnya dipercaya keramat.

Terletak di Jalan Perwira yang sepi. Situs ini menjadi kebanggaan Kota Ende.

Lukisan gadis Bali telanjang yang dibuat oleh Soekarno
selama pengasingan di Ende.



SUMBER: http://diasporaiqbal.blogspot.co.id/2014/05/rumah-pengasingan-bung-karno-di-ende.html

Rabu, 18 November 2015

SEJARAH PERANG PADERI

Sejarah terjadinya perang Paderi – Perang Paderi dimulai pada tahun 1803 hingga 1838 dan merupakan satu dari sekian banyak perang yang terjadi saat Belanda menjajah Indonesia. Meski begitu, pada awalnya perang ini bukanlah perang yang mulia, karena disebabkan oleh pertentangan dalam masalah agama antara adat. Baru belakangan, kaum Adat yang sedang ada dalam kondisi kalah meminta bantuan Belanda, dimana akhirnya Belanda setuju membantu dan mendorong mundur musuh dari kaum Adat. Perang ini sempat reda dan kembali berlanjut pada tahun 1833, dimana pada masa itu kaum Adat mulai menyadari kesalahan mereka karena meminta bantuan pihak Belanda dan ikut membantu perang.
Sejarah Terjadinya Perang Paderi
Sejarah Singkat Terjadinya Perang Paderi
Sejarah terjadinya perang Paderi dimulai dengan pulangnya tiga orang ulama yang baru saja selesai melakukan ibadah haji dari Mekah pada tahun 1803. Ketiga orang tersebut ialah Haji Sumanik, Haji Miskin, dan Haji Piobang, dan ke-3 orang tadi memiliki niat untuk membenahi syariat Islam dari masyarakat Minangkabau yang mereka nilai masih belum sempurna. Tujuan mula ke-3 haji ini menyulut api semangat Tuanku Nan Renceh yang akhirnya ikut bergabung bersama mereka karena ia sangat setuju dengan tujuan yang direncanakan. Pada akhirnya, 4 orang ini bergabung dengan ulama-ulama lain yang punya pandangan sama dan membentuk perkumpulan bernama Harimau Nan Salapan.
Pada suatu masa, Harimau Nan Salapan meminta kaum Adat beserta Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah melalui Tuanku Lintau agar meninggalkan kebiasaan mereka yang agak bertentangan dengan syariat Islam yang sesungguhnya. Sayangnya, beberapa kali perundingan tidak menemukan sebuah kesepakatan antara kaum Adat dengan kaum Padri. Menyusul hal ini, beberapa nagari (desa) yang ada dalam kerajaan Pagaruyung mulai bergejolak dan mencapai puncak pada tahun 1815 dimana Tuanku Pasaman memimpin pasukan kaum Padri untuk menyerang kerajaan tersebut, memecahkan perang di Koto Tangah, menyebabkan tersingkirnya Sultan Arifin Muningsyah yang harus lari dari ibu kota kerajaan. Raffles yang mengunjungi Pagaruyung di tahun 1818, melalui catatannya berkata bahwa yang tersisa hanya puing-puing bekas terbakar.
Terlibatnya Belanda dalam sejarah terjadinya perang Paderi diprakarsai oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar yang saat itu memimpin kaum Adat, karena kaum Adat sedang dalam kondisi kalah dan Yang Dipertuan Pagaruyung tidak jelas keberadaannya. Permohonan agar Belanda membantu ini dilaksanakan pada tanggal 21 Februari 1821, meskipun pada waktu itu Sultan Tangkal Alam tidak dalam kondisi yang berhak membuat perjanjian apapun dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Perjanjian ini membuat kerajaan Pagaruyung bagian dari daerah belanda, dan kemudian mereka menghadiahi Sultan Tangkal Alam Bagagar jabatan sebagai Regent Tanah Datar.
Bantuan pertama yang diberikan oleh Belanda yang diakibatkan oleh perjanjian bersama kaum Adat adalah penyerangan Simawang dan Sulit Air yang dipimpin oleh kapten Goffinet dan kapten Dienema atas perintah Residen James du Puy pada bulan April 1821. Pasukan tambahan kembali muncul pada 8 Desember 1821 yang dipimpin oleh letnan kolonel Raaff demi memperkuat posisi di daerah yang kini telah mereka kuasai. Akhirnya, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Raaff mampu mengusir kaum Padri dari Pagaruyung pada tanggal 4 Maret 1822. Tidak lama, Belanda kemudian membangun sebuah benteng pernaha Fort Van der Capellen di Batusangkar sebagai fasilitas pertahanan, sementara kaum Padri bertahan di Lintau demi menyusun kekuatan mereka.
Setelah tewasnya kapten Goffinet pada tanggal 5 September 1822, Belanda harus mundur kembali ke Batusangkar karena serangan terus menerus kaum Padri saat mereka menyerang Baso. 13 April 1823 menjadi percobaan kedua Raaff untuk menyerang Lintau setelah mendapatkan bala bantuan, namun pertahanan kaum Padri memaksa Belanda kembali mundur pada tanggal 16 April, dan pada tanggal 17 April 1824 Raaff meninggal tiba-tiba karena demam tinggi. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya di bulan September, pasukan Belanda yang dipimpin Mayor Frans Laemin berhasil menundukkan beberapa kawasan di Luhak Agam seperti Koto Tuo dan Ampang Gadang. Mereka juga berhasil menduduki Biaro dan Kapau dengan kematian Laemlin karena luka parah sebagai harga yang harus dibayar.
Pada 15 November 1825, perang Paderi memasuki babak tenang seiring dengan “perjanjian Masang” yang ditandatangani bersama Tuanku Imam Bonjol dan pemerintah Hindia-Belanda. Hal ini dikarenakan pihak Belanda sedang sibuk menghadapi Perang Diponegoro dan perang lain di Eropa. Selama masa tenang ini, Tuanku Imam Bonjol berusaha merangkul kembali kaum Adat dan berhasil, membuat kemampuan perang mereka bertambah untuk menghadapi Belanda ketika kaum Adat mulai menyadari betapa salahnya mereka mengundang Belanda dalam peperangan ini.
Pada 11 Januari 1833, pasukan baru yang kini merupakan gabungan kaum Adat dan padri mulai menyerang daerah pertahanan Belanda, dan memakan ratusan korban jiwa. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang ditunjuk Belanda sebagai Regent Tanah Datar juga ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Lamanya periode perang ini memaksa gubernur jenderal Belanda Johannes van den Bosch untuk melihat langsung kondisi perang Padri ini, dimana ia segera membuat rencana untuk menjatuhkan Benteng Bonjol yang jadi pusat komando pasukan Padri.
Serangan terhadap Benteng Bonjol ini menandakan fase terakhir dalam sejarah terjadinya perang Paderi karena setelah berkali-kali mundur dan gagal, pada 3 Agustus 1837 pasukan yang dipimpin oleh kolonel Michiels berhasil menguasai keadaan setelah bergelombang-gelombang serangan dan hujan peluru tanpa henti. Meski Benteng Bonjol berhasil ditaklukkan, Imam Bonjol berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Setelah Imam Bonjol ditipu dengan janji perundingan dan diasingkan, benteng terakhir kaum Padri juga jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 28 Desember, dan mematikan api semangat perang pada jiwa pasukan Padri.

SUMBER: http://master-masday.blogspot.co.id/2012/07/sejarah-terjadinya-perang-diponegoro.html

SEJARAH PERANG DIPONEGORO

Sejarah terjadinya perang diponegoro dalam artikel ini mencoba mendeskripsikan sejarah terjadinya perang diponegoro. Di antara tahun 1825-1830 Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dilanda oleh perang besar yang hampir-hampir meruntuhkan kekuasaan imperialis Belanda di Indonesia. Peperangan tersebut dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, yaitu seorang bangsawan kesultanan Yogyakarta. Bagaimana timbulnya perang besar itu secara garis besarnya diterangkan sebagai berikut:

Riwayat Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro lahir pada tahun 1785 dengan nama kecil Antawirya, putera sulung Sultan Hamengkubuwono III dari selir. Pada masa remajanya diasuh oleh Ratu Ageng (janda Sultan Hamengkubuwono I) di Tegalrejo kira-kira 1 km di sebelah barat stasiun Yogyakarta. semasa hidupnya beliau berusaha memperdalam agama Islam, sering bertapa di gua Langse dan sangat memntingkan masalah-masalah rohaniah. Sikapnya terhadap rakyat amat baik dan selalu memperhatikan nasibnya. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono V (Mas Menol), Pangeran Diponegoro diangkat menjadi wali raja, karena pada saat itu Sultan Hamengkubuwono V masih di bawah umur.

Pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan imperialis Belanda pada tahun 1825-1830, dan wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Sebagai penghargaan perjuangannya, pemerintah Indonesia mengangkat Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan nasional, rumah kediaman beliau di Tegalrejo dibangun dijadikan Monumen Diponegoro, nama diponegoro diabadikan menjadi nama kesatuan Divisi Jawa Tengah.


sejarah perang diponegoro, perang diponogoro

Sebab-sebab Pangeran diponegoro Melawan Belanda

Pangeran Diponegoro berjuang melawan imperialis Belanda bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan. Mengenai hal ini dapat diterangkan di bawah ini:
1. Kaum bangsawan Kesultanan Yogyakarta merasa tidak puas, karena:
  • Mereka dilarang oleh Belanda untuk menyewakan tanahnya kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk perkebunan-perkebunan. Sebab itu merupakan saingan bagi Belanda yang mengusahakan perkebunan-perkebunan juga.
  • Daerah Kesultanan Yogyakarta yang terletak di antara Pekalongan dan Semarang dirampas oleh Belanda.
  • Kekuasaan dan kewibawaan para bangsawan makin terdesak oleh Belanda, baik dipusat maupun di daerah-daerah.
2. Kaum Ulama Islam makin kecewa, karena makin meluasnya adat kebiasaan barat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal ajaran Islam bagi kaum ulama merupakan alat untuk pendidikan moral. Oleh karena kaum ulama memandang bahwa keburukan moral itu bersumber dari Belanda, maka Belanda harus disingkirkan.
3. Rakyat jelata makin menderita akibat adanya bermacam-macam pungutan pajak dan macam-macam kewajiban kerja paksa.

Peristiwa meletusnya perlawanan Pangeran Diponegoro

Pada tahun 1825, Belanda bermaksud menyambung dan memperlebar jalan melalui tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro dengan tidak minta izin lebih dulu kepada Pangeran Diponegoro. Hal itu menyebabkan Pangeran Diponegoro marah karena mengesampingkan beliau sebagai wali raja. Waktu diadakan pemasangan pancang-pancang oleh suruhan Belanda, pancang-pancang itu dicabuti oleh suruhan Pangeran Diponegoro. Wakil Belanda ialah Residen Smissaert, meminta kepada Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro) untuk memanggil Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Mangkubumi bertemu dengan Pangeran Diponegoro malahan menggabungkan diri dengan Pangeran Diponegoro. Maka pada tanggal 20 Juli 1825, rumah kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo diserang dan dikepung oleh pasukan berkuda di bawah pimpinan Chevalier dengan maksud untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Dalam pertempuran itu Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi sempat meloloskan diri dengan menunggang kuda. Setelah Belanda mengetahui bahwa Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi dapat meloloskan diri, maka rumah Pangeran Diponegoro dibakar oleh Belanda. Sejak itu Pangeran Diponegoro bertekad melawan Belanda untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan.

Jalannya Peperangan Diponegoro

Pangeran Diponegoro beserta Pangeran Mangkubumi setelah berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda, lalu menuju ke Kalisaka. Di sana pengikut yang berdatangan semakin banyak. Para bangsawan Yogyakarta dan rakyat biasa berduyun-duyun datang menggabungkan diri, sehingga Kalisaka tidak dapat menampungnya dan dipindahkan ke Selarong. di sinilah Pangeran Diponegoro memusatkan pertahanannya dan mengatur pasukannya. Inti pasukan Pangeran diponegoro dibagi memnjadi beberapa batalyon, dan setiap batalyon diberi nama sendiri, misalnya: Turkiya, Arkiya, dan sebagainya. Batalyon-batalyon itu diperlengkapi dengan senjata api beserta peluru-peluru yang dibuat di huatan-hutan. Dalam perang melawan Belanda, Pangeran Diponegoro mempergunakan sistem perang gerilya, yaitu tidak pernah mengadakan penyerangan secara besar-besaran, tetapi hanyalah perang lokal secara tiba-tiba saja. Siasat ini ternyata sangat menguntungkan pasukan Pangeran Diponegoro sebab sulit untuk diatasi oleh Belanda. Berkali-kali Selarong diserang oleh Belanda, tetapi pasukan Pangeran Diponegoro telah mengundurkan diri lebih dahulu. Baru setelah Belanda pergi dari Selarong, tentara Pangeran Diponegoro kembali ke Selarong. Demikian berkali-kali pasukan Belanda menyerang Selarong selalu mendapatkan tempat itu telah kosong. Waktu itu ada seorang ulama termasyhur dari Surakarta bernama Kyai Maja turut menggabungkan diri memperkuat pasukan Pangeran Diponegoro. Untuk menghindari serbuan Belanda, Pangeran Diponegoro memindahkan pusat pertahanannya ke Daksa (sebelah barat laut Yogyakarta). maka selanjutnya serangan-serangan terhadap Belanda dilakukan dari Daksa sebagai pusat pertahanan yang baru. atas desakan rakyat, para bangsawan dan ulama, Pangeran Diponegoro mengangkat dirinya sebagai kepala negara dengan gelar "Sultan Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa". Setelah diadakan penobatan lalu didirikan pusat negara ialah Plered dengan pertahanan yang kuat. hal itu dilakukannya untuk menjaga kemungkinan apabila mendapat serangan dari pihak Belanda sewaktu-waktu. Pertahanan daerah Plered ini ditangani oleh Kerta Pengalasan.

Usaha untuk memperkuat pertahanan di Plered itu ternyata ada manfaatnya. Pada tanggal 9 Juni 1826, Belanda dengan kekuatannya yang besar berusaha menyerang Plered. Karena pertahanan di Plered sudah diperkuat, maka usaha Belanda itu tidak berhasil. Selanjutnya untuk meningkatkan pertahanan di Plered itu Kerta Pengalasan diganti oleh dua orang pemuda yang gagah berani, yaitu Sentot yang bergelar Ali Basah Prawiradirja dan Prawirakusuma yang kedua-duanya masih berusia 16 tahun. Pada permulaan Juli 1826, Belanda mengulangi serangannya ke Daksa lagi. Oleh Pangeran Diponegoro, Daksa telah dikosongkan terlebih dahulu. Maka waktu tentara Belanda kembali dari Daksa untuk menuju ke Yogyakarta, dengan tiba-tiba dihadang dan dibinasakan oleh pasukan Pangeran Diponegoro dari tempat persembunyiannya. Setelah mendapat kemenangan itu pasukan Pangeran Diponegoro dengan secepat kilat menghilang dari Daksa. Beberapa bulan setelah mendapat kemenangan itu, atas anjuran Kyai Mojo (penasehat Pangeran Diponegoro), Pangeran Diponegoro mengadakan penyerangan besar terhadap daerah Surakarta. Pada bulan Oktober 1826, pasukan Pangeran Diponegoro menyerang Belanda di Gawok sebelah barat daya Surakarta, dan mendapat kemenangan yang gemilang. Tetapi Pangeran Diponegoro terpaksa harus diangkut dengan tandu ke lereng Gunung Merapi, karena beliau terluka. Demikianlah taktik dan siasat perang gerilya Pangeran Diponegoro yang cukup mencemaskan Belanda. Sehingga Belanda berkesimpulan bahwa bila dengan cara perang biasa tidak mungkin dapat mematahkanperlawanan Pangeran Diponegoro. Selanjutnya Belanda menggunakan siasat baru untuk menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro, yaitu sebagai berikut:
  • Sultan Sepuh yang pernah dibuang Belanda ke Ambon dikembalikan ke Yogyakarta dan diangkat menjadi sultan lagi (21 September 1826). Maksudnya supaya perlawanan menjadi reda dan diharapkan pula agar Pangeran Diponegoro mau tunduk kepadaSultan Sepuh, mengingat Sultan Sepuh adalah kakek Pangeran Diponegoro. Hal itu tidak berpengaruh sama sekali terhadap jalannya peperangan, bahkan banyak bangsawan keraton yang menggabungkan diri dengan Pangeran Diponegoro.
  • Menggunakan siasat perbentengan. Setelah Jenderal Markus de Kock diangkat menjadi panglima seluruh pasukan Belanda (1827), lalu menggunakan siasat perbentengan (Benteng Stelsel), dengan cara: tiap kali Belanda berhasil merebut daerah-daerah Pangeran Diponegoro, di situ didirikan benteng-benteng yang dikelilingi dengan kawat berduri dan dijaga ketat. Antara benteng yang satu dengan benteng lain yang tidak seberapa jauh itu diadakan hubungan dengan pasukan gerak cepat. Siasat demikian dimaksudkan untuk mempersempit daerah kekuasaan Pangeran Diponegoro, dan untuk mencerai-beraikan pasukannya.
Akhir Perlawanan Pangeran Diponegoro 

Setelah Pangeran Diponegoro sembuh dari sakitnya, pada tanggal 17 November 1826 beliau berangkat ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda lagi. Perlawanan antara kedua belah pihak itu berhenti setelah diadakan gencatan senjata (10 Oktober 1827), wakil-wakil dari kedua belah pihak mengadakan perundingan, namun mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro mendirikan keraton di Sambirata (dekat Pengasih) sebagai pusat negara baru. Sedangkan Belanda (tahun 1828) mulai mendirikan benteng-benteng secara teratur, dengan maksud untuk mempersempit daerah kekuasaan Pangeran Diponegoro. Pada waktu Sambirata diadakan perayaan sehubungan dengan berdirinya pusat negara baru, Belanda secara mendadak mengadakan serangan terhadap Pangeran Diponegoro di Sambirata. Beruntung dalam serangan itu, Pangeran Diponegoro dapat meloloskan diri ke Pengasih melanjutkan peperangan. Sementara itu di Kroya, Sentot berhasil merampas empat ratus pucuk senapan dan meriam beserta mesiunya serta dapat menawan beratus-ratus orang Belanda. Akan tetapi Kyai Maja dapat ditangkap Belanda dalam pertempuran di lereng Gunung Merapi.

Untuk menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda mengeluarkan maklumat (21 September 1829) yang menyatakan bahwa barang siapa dapat menangkap Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati akan diberi hadiah sebanyak 50.000 gulden beserta tanah dan kehormatan. Maklumat tersebut dianggap sepi oleh rakyat yang setia terhadap pemimpinnya.

Pengkhianatan Belanda

Sejak akhir tahun 1828, kedudukan Pangeran Diponegoro menjadi makin sulit, karena:
  • Kyai Maja ditangkap oleh Belanda (12 Oktober 1828), yang kemudian dibuang ke Menado.
  • Sentot terpaksa menyerah kepada Belanda dengan pasukannya (16 Oktober 1828) karena kesulitan biaya dan termakan oleh bujukan Belanda. Kecuali itu banyak bangsawan pengikut Pangeran Diponegoro yang kembali ke keraton, karena tidak tahan menderita akibat kekejaman Belanda terhadap keluarga mereka.
  • Istri Pangeran Diponegoro (R.A Ratnaningsih) beserta puteranya tertangkap oleh Belanda (14 Oktober 1829).
Oleh karena usaha Belanda tersebut di atas itu tidak dapat mematahkan perlawanan Pangeran Diponegoro, maka Belanda menawarkan perundingan kepada Pangeran Diponegoro (tahun 1830), bertempat di markas Belanda Magelang dengan janji bila perundingan itu mengalami jalan buntu, Pangeran Diponegoro boleh kembali dengan bebas. 

Oleh Pangeran Diponegoro tawaran itu diterima. Maka sehari sesudah lebaran (28 Maret 1830) Pangeran Diponegoro beserta pengikut-pengikutnya memasuki kota Magelang untuk mengadakan kunjungan kehormatan dan persahabatan dengan Jenderal de Kock. Beliau diterima Jenderal de Kock dengan kehormatan di ruang kerjanya. Ketika Jenderal de Kock menanyakan syarat apa yang diinginkan, Pangeran Diponegoro menghendaki negara merdeka dan menjadi pimpinan mengatur agama Islam di Pulau Jawa. Jenderal de Kock menolaknya, dan melarang Pangeran Diponegoro meninggalkan ruangan. Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda yang ternyata telah menyiapkan penyergapan secara rapi. Dengan demikian, Belanda menjalankan pengkhianatan yang kesekian kalinya. Selanjutnya dengan pengawalan ketat, Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia, lalu dibuang ke Menado, kemudian dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar sampai wafatnya (8 Januari 1855). Jenazahnya dimakamkan di kampung Melayu Makassar. Demikianlah artikel tentang sejarah terjadinya perang Diponegoro. Semoga bermanfaat.

SUMBER:  http://master-masday.blogspot.co.id/2012/07/sejarah-terjadinya-perang-diponegoro.html

SEJARAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Jumat, 17 Agustus 1945 M atau 17 Ramadan 1365 H) dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Muhammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat.

Berikut sejarah singkat rangkaian peristiwa menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI

Tanggal 6 Agustus 1945 -- 2 bom atom dijatuhkan ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Ini menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Tanggal 7 Agustus 1945 -- BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Tanggal 9 Agustus 1945 -- Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Tanggal 10 Agustus 1945 -- Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.

Tanggal 11 Agustus 1945 -- Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dilaksanakan dalam beberapa hari.

Tanggal 14 Agustus 1945 -- Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat (250 km di sebelah timur laut dari Saigon), Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu busuk Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro dengan Jepang. Hatta menceritakan kepada Sjahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.

Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap, Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Tanggal 15 Agustus 1945 -- Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.

Tanggal 16 Agustus 1945 -- Gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Pada siang hari mereka berkumpul di rumah Hatta, dan sekitar pukul 10 malam di rumah Soekarno. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.

Peristiwa Rengasdengklok
Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 mereka menculik Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Yamamoto
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Yamamoto dan bermalam di kediaman wakil Admiral Maeda Tadashi. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.

Naskah Proklamasi
Mengetahui bahwa proklamasi tanpa pertumpahan darah telah tidak mungkin lagi, Soekarno, Hatta dan anggota PPKI lainnya malam itu juga rapat dan menyiapkan teks Proklamasi yang kemudian dibacakan pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.

Sebelumnya para pemuda mengusulkan agar naskah proklamasi menyatakan semua aparat pemerintahan harus dikuasai oleh rakyat dari pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga sekarang. Para pemuda juga menuntut enam pemuda turut menandatangani proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para anggota PPKI. Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud dengan membubuhkan anak kalimat “atas nama Bangsa Indonesia” Soekarno-Hatta. Rancangan naskah proklamasi ini kemudian diketik oleh Sayuti Melik.

Isi Teks Proklamasi
Isi teks proklamasi kemerdekaan yang singkat ini adalah:


Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.

Teks diatas merupakan hasil ketikan dari Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.

Sementara naskah yang sebenarnya hasil gubahan Muh.Hatta, A.Soebardjo, dan dibantu oleh Ir.Soekarno sebagai pencatat. Adapun bunyi teks naskah otentik itu sebagai berikut:


Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, 17 – 8 – ’45
Wakil2 bangsa Indonesia.


SUMBER: http://andyestc.blogspot.co.id/2012/08/sejarah-proklamasi-kemerdekaan-indonesia.html
 

Shofi's Plaven Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang